Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PONTIANAK
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2024/PN Ptk Ismail Marzuki, S.H KEPALA KEPOLISIAN RESOR KOTA PONTIANAK Cq KEPALA SATUAN LALU LINTAS POLRESTA PONTIANAK Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 10 Jul. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2024/PN Ptk
Tanggal Surat Senin, 08 Jul. 2024
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Ismail Marzuki, S.H
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RESOR KOTA PONTIANAK Cq KEPALA SATUAN LALU LINTAS POLRESTA PONTIANAK
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada Yth.

Ketua Pengadilan Negeri Pontianak

Di Pengadilan Negeri Pontianak Jalan Sultan Abdurrahman No. 89 Pontianak 78116

 

Hal    :  Permohonan Praperadilan

 

Dengan Hormat, Perkenankanlah kami :

ISMAIL MARZUKI, S.H.I, Jenis Kelamin Laki-Laki, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Advokat, Alamat Jalan M. Yusuf Gang Belidak Blok L4 No. 21, Kelurahan Sungai Jawi Luar, Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak. Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON;

——————————–M E L A W A N——————————–

Kepala Kepolisian Resort Kota Pontianak Cq. Kepala SATUAN LALU LINTAS POLRESTA PONTIANAK beralamat di Jalan Gusti Johan Idrus Nomor 1 Pontianak. Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;

Untuk mengajukan Permohonan Praperadilan atas penyitaan SURAT IZIN MENGEMUDI  (SIM)  A  dengan  Nomor  10148907000335  An.  ISMAIL

MARZUKI (PEMOHON) oleh Anggota Satuan Lalu Lintas Polresta Pontianak;

 

Adapun yang menjadi dasar dan alasan permohonan PEMOHON adalah sebagai berikut :

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

    1. Bahwa terlahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam

 

sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuanketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak- hak asasi manusia;

  1. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP pada hakekatnya dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic.Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Koreksi atau pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Koreksi ini dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini PEMOHON. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang pada hakekatnya memberi pengertian bahwa didalam dalam masyarakat yang berbudaya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk selalu menjamin hak kemerdekaan setiap orang;

  2. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai suatu lembaga untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik

 

atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan, sebagaimana secara khusus Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor. 21/PUUXII/ 2014, telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penyitaan adalah merupakan objek praperadilan;

  1. Bahwa penyitaan masuk termasuk dalam objek pra peradilan karena merupakan bagian dari mekanisme control terhadap kemungkinan terjadinya tindakan sewenag-wenang dari penegak hukum dalam melakukan penyitaan. Apabila seseorang dikenai upaya paksa maka hak asasi yang bersangkutan akan terganggu, di lain sisi, ada kemungkinan upaya paksa yang dikenakan terhadapnya tidak dilakukan secara benar menurut hukum, sehingganya dibutuhkan suatu mekanisme tertentu untuk menguji keabsahan upaya paksa tersebut dalam rangka melindungi hak asasi manusia yaitu melalui upaya praperadilan;

  2. Bahwa dengan adanya tindakan penyitaan terhadap benda/barang, yang dilakukan tidak berdasarkan hukum atau tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang dalam hal ini PEMOHON untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap tindakan penyitaan melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak untuk menilai keabsahan tindakan penyitaan ini sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP, yang kemudian semakin dikukuhkan dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (UU HAM), yang berbunyi : “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. Hal ini merupakan pengejawantahan dari Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”;

Pihak Dipublikasikan Ya